Jurnal Contoh Kasus Masalah

Jurnal Contoh Kasus Masalah

Soal Kasus: Kontroversi Aplikasi Hermenautika Pendekatan metodologis penafsiran hukum merupakan kelaziman bagi para sarjana hukum dalam menafsirkan suatu norma hukum dalam karya tulisan/putusan hukumnya. Namun Hermeneutika HansGeorg Gadamer (2004) mengatakan bahwa hermeneutika itu filosofinya dapat diaplikasikan dalam bidang hukum, teologi dan filologi, sifatnya umum dalam tataran ontologis. Padahal pemahaman yang demikian ini bukan merupakan ranah utama ilmu hukum, karena penafsiran dalam ilmu hukum itu lebih dominan berkarater epistemologis. Pandangan hanya ontologis ataupun epistemologis bisa secara potensial membuat sesat pikir mengenai pemanfaatan hermeneutika hukum. Sehingga hermeneutika adalah aliran kefilsafatan yang merupakan rumah besar pembacaan teks atau hal tertentu di dalamnya banyak aliran pemikiran (Muhammad Ilham Hermawan, --). Hal demikian memunculkan pandangan dan sikap para hakim dan ahli hukum bahwa pendekatan hermeneutik hukum tidak praktis namun sekedar memenuhi unsur filosifis. Manakala seorang hakim diberi tugas mengadili dan menyelesaikan suatu kasus hukum, maka ia melakukan kegiatan interpretasi. Hakim wajib memahami fakta peristiwa yang terjadi dan masalah hukumnya yang timbul. Hakim harus menerapkan hukum yang benar terhadap kasus tersebut. Jadi, seorang hakim bukan hanya berusaha memahami dan menginterpretasi teks yuridis, tetapi juga interpretasi terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum. Namun sebuah penelitian mendalam telah dilakukan pada para hakim di AS yang mengungkapkan bahwa ternyata para hakim lebih banyak bersikap pragmatis daripada kebutuhan logis akan interpretasi dalam penerapan hukum (Lief H. Carter, 1992). Situasi yang berlangsung di AS terjadi juga di Indonesia (Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 1, Maret 2016). Berpijak dari hasil penelitian perihal kebutuhan akan prinisip-prinsip hermeneutika hukum sebagai patokan dalam penerapan hukum baik di pengadilan maupun di luar pengadilan menjadi dipertanyakan kepraktisannya. Di Indonesia para ahli hukum maupun para pihak di dunia peradilan, sekalipun melihat urgensi penggunaan metode hermeneutika yang filosofis daripada menafsirkan teks gramatikal untuk memahami hukum, juga melihat kekompleksitasan dan ketidakpraktisan hermeneutik hukum. Problema hukum sudah begitu kompleks, sedangkan penafsiran hukum hermeneutik menambah kerumitan persoalan di dunia peradilan ataupun kajian positivisme hukum. Para hakim, lawyers dan ahli hukum sudah merasa cukup bahwa menganalisis dan mengintepretasikan norma ataupun persoalan hukum adalah cukup dengan menggunakan tolok ukur penafsiran yang memenuhi unsur-unsur ‘legalitas’ dan ‘legitimasi’ dalam memutuskan persoalan hukum. Apa-apa yang yang sudah ‘legal’, namun belum tentu memenuhi unsurunsur ‘legitimasi’. Demikian pula sebaliknya kecukupan penafsiran yang mencukupi unsur-unsur ‘legitimasi’ belum tentu memenuhi unsur-unsur ‘legalitas’. Pendekatan praktis akan penggunaan asas ‘legality’ dan “legitimacy’ ternyata tentu dapat pula diurai dengan sangat kompleksnya yang tidak. Sehingga ini amat tergantung dari kemampuan analitis seorang hakim ataupun ahli hukum tersebut. 1. Pertanyaan/Perintah Soal: Saudara mahasiswa, anda bebas menentukan asumsi-asumsi apa saja yang semestinya melekat, diberikan dan ada di dalam konteks contoh kasus peristiwa yang diberikan dalam ‘soal ini’. Sehingga anda-pun dapat relatif bebas berinterpretasi secara relevan faktor-faktor apa saja yang semestinya masuk dalam analisis terhadap kasusnya tersebut. Lakukan penilaian/justifikasi atas urgensi pemanfaatan hermeneutika berdasarkan kasus contoh kontroversi tersebut di atas sebagai metode interpretasi hukum dalam dunia peradilan dan kajian positivisme hukum. (Max 500 kata) 2. Pertanyaan: Saudara mahasiswa, anda bebas menentukan asumsi-asumsi apa saja yang semestinya melekat, diberikan dan ada di dalam konteks contoh kasus peristiwa yang diberikan dalam Soal ini. Sehingga andapun relatif bebas dapat berinterpretasi secara relevan faktor-faktor apa saja yang semestinya masuk dalam analisis kasusnya tersebut. Lakukan analisa hubungan perbedaan antara aliran metodologi penafsiran hermeneutik berciri khas kompleks multidimensional dibandingkan dengan aliran metodologi penafsiran positivistik berciri khas pragmatis dan berkepastian hukum dalam memecahkan kontroversi pemanfaatan metode penafsiran yang benar dan baik (Max 500 kata). 3. Pertanyaan: Saudara mahasiswa, anda bebas menentukan asumsi-asumsi apa saja yang semestinya melekat, diberikan dan ada di dalam konteks contoh kasus peristiwa yang diberikan dalam Soal Tugas-2 ini. Sehingga anda-pun relatif bebas dapat berinterpretasi secara relevan faktor-faktor apa saja yang semestinya masuk dalam analisis kasusnya tersebut. Buat kesimpulan dengan deskripsi singkatnya, atas perbedaan arti dan makna penafsiran hermeneutika hukum terbanding dengan penafsiran positivistic dengan menggunakan kata-kata kuncinya (Dapat menggunakan matriks, Max 500 kata).

Daftar Isi

1. Soal Kasus: Kontroversi Aplikasi Hermenautika Pendekatan metodologis penafsiran hukum merupakan kelaziman bagi para sarjana hukum dalam menafsirkan suatu norma hukum dalam karya tulisan/putusan hukumnya. Namun Hermeneutika HansGeorg Gadamer (2004) mengatakan bahwa hermeneutika itu filosofinya dapat diaplikasikan dalam bidang hukum, teologi dan filologi, sifatnya umum dalam tataran ontologis. Padahal pemahaman yang demikian ini bukan merupakan ranah utama ilmu hukum, karena penafsiran dalam ilmu hukum itu lebih dominan berkarater epistemologis. Pandangan hanya ontologis ataupun epistemologis bisa secara potensial membuat sesat pikir mengenai pemanfaatan hermeneutika hukum. Sehingga hermeneutika adalah aliran kefilsafatan yang merupakan rumah besar pembacaan teks atau hal tertentu di dalamnya banyak aliran pemikiran (Muhammad Ilham Hermawan, --). Hal demikian memunculkan pandangan dan sikap para hakim dan ahli hukum bahwa pendekatan hermeneutik hukum tidak praktis namun sekedar memenuhi unsur filosifis. Manakala seorang hakim diberi tugas mengadili dan menyelesaikan suatu kasus hukum, maka ia melakukan kegiatan interpretasi. Hakim wajib memahami fakta peristiwa yang terjadi dan masalah hukumnya yang timbul. Hakim harus menerapkan hukum yang benar terhadap kasus tersebut. Jadi, seorang hakim bukan hanya berusaha memahami dan menginterpretasi teks yuridis, tetapi juga interpretasi terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum. Namun sebuah penelitian mendalam telah dilakukan pada para hakim di AS yang mengungkapkan bahwa ternyata para hakim lebih banyak bersikap pragmatis daripada kebutuhan logis akan interpretasi dalam penerapan hukum (Lief H. Carter, 1992). Situasi yang berlangsung di AS terjadi juga di Indonesia (Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 1, Maret 2016). Berpijak dari hasil penelitian perihal kebutuhan akan prinisip-prinsip hermeneutika hukum sebagai patokan dalam penerapan hukum baik di pengadilan maupun di luar pengadilan menjadi dipertanyakan kepraktisannya. Di Indonesia para ahli hukum maupun para pihak di dunia peradilan, sekalipun melihat urgensi penggunaan metode hermeneutika yang filosofis daripada menafsirkan teks gramatikal untuk memahami hukum, juga melihat kekompleksitasan dan ketidakpraktisan hermeneutik hukum. Problema hukum sudah begitu kompleks, sedangkan penafsiran hukum hermeneutik menambah kerumitan persoalan di dunia peradilan ataupun kajian positivisme hukum. Para hakim, lawyers dan ahli hukum sudah merasa cukup bahwa menganalisis dan mengintepretasikan norma ataupun persoalan hukum adalah cukup dengan menggunakan tolok ukur penafsiran yang memenuhi unsur-unsur ‘legalitas’ dan ‘legitimasi’ dalam memutuskan persoalan hukum. Apa-apa yang yang sudah ‘legal’, namun belum tentu memenuhi unsurunsur ‘legitimasi’. Demikian pula sebaliknya kecukupan penafsiran yang mencukupi unsur-unsur ‘legitimasi’ belum tentu memenuhi unsur-unsur ‘legalitas’. Pendekatan praktis akan penggunaan asas ‘legality’ dan “legitimacy’ ternyata tentu dapat pula diurai dengan sangat kompleksnya yang tidak. Sehingga ini amat tergantung dari kemampuan analitis seorang hakim ataupun ahli hukum tersebut. 1. Pertanyaan/Perintah Soal: Saudara mahasiswa, anda bebas menentukan asumsi-asumsi apa saja yang semestinya melekat, diberikan dan ada di dalam konteks contoh kasus peristiwa yang diberikan dalam ‘soal ini’. Sehingga anda-pun dapat relatif bebas berinterpretasi secara relevan faktor-faktor apa saja yang semestinya masuk dalam analisis terhadap kasusnya tersebut. Lakukan penilaian/justifikasi atas urgensi pemanfaatan hermeneutika berdasarkan kasus contoh kontroversi tersebut di atas sebagai metode interpretasi hukum dalam dunia peradilan dan kajian positivisme hukum. (Max 500 kata) 2. Pertanyaan: Saudara mahasiswa, anda bebas menentukan asumsi-asumsi apa saja yang semestinya melekat, diberikan dan ada di dalam konteks contoh kasus peristiwa yang diberikan dalam Soal ini. Sehingga andapun relatif bebas dapat berinterpretasi secara relevan faktor-faktor apa saja yang semestinya masuk dalam analisis kasusnya tersebut. Lakukan analisa hubungan perbedaan antara aliran metodologi penafsiran hermeneutik berciri khas kompleks multidimensional dibandingkan dengan aliran metodologi penafsiran positivistik berciri khas pragmatis dan berkepastian hukum dalam memecahkan kontroversi pemanfaatan metode penafsiran yang benar dan baik (Max 500 kata). 3. Pertanyaan: Saudara mahasiswa, anda bebas menentukan asumsi-asumsi apa saja yang semestinya melekat, diberikan dan ada di dalam konteks contoh kasus peristiwa yang diberikan dalam Soal Tugas-2 ini. Sehingga anda-pun relatif bebas dapat berinterpretasi secara relevan faktor-faktor apa saja yang semestinya masuk dalam analisis kasusnya tersebut. Buat kesimpulan dengan deskripsi singkatnya, atas perbedaan arti dan makna penafsiran hermeneutika hukum terbanding dengan penafsiran positivistic dengan menggunakan kata-kata kuncinya (Dapat menggunakan matriks, Max 500 kata).


Penjelasan:

Jangan lupa follow & berikan lencana jawaban tercerdas!

Untuk joki tugas SD, SMP, SMA/K & Kuliah silahkan hubungi :

Instagram : @diannputra

WA : 083195935499

1. Penilaian/Justifikasi Urgensi Pemanfaatan Hermeneutika dalam Dunia Peradilan dan Kajian Positivisme Hukum

Dalam konteks kasus kontroversi pemanfaatan hermeneutika sebagai metode interpretasi hukum dalam dunia peradilan dan kajian positivisme hukum, ada beberapa alasan yang mendukung urgensi pemanfaatan hermeneutika sebagai metode interpretasi hukum yang relevan.

*JAWABAN LENGKAPNYA SILAHKAN CH4T KE N0 DIATAS!


2. 3. Konsep Diri Peminat Fashion Vintage Konsep diri peminat fashion vintage memiliki percaya diri dengan pakaian yang di kenakan. Setiap pakaian yang kita kenakan dilihat dari motif dan warna yang senada, karena pakaian yang kita kenakan tidak menjadi masalah untuk mereka. Penilaian orang tehadap pakaian berbedabeda. Maka dari itu percaya diri paling utama. Selama pakaian yang kita kenakan sopan dan senada. Lingkungan sangat berpengaruh dalam cara kita berpakaian, karena akan menjadi identitas diri dalam lingkungan. Pakaian tidak hanya sebagi untuk penutup tubuh atau sebagai fashion tetapi pakaian adalah bentuk komunikasi non-verbal. Komunikasi yang hanya bisa kita lihat dan memberi makna tertentu. (Sumber: Oktaviani, dkk., 2015, Konsep Diri Peminat Fashion Vintage (Studi Interaksi Simbolik Pada Peminat Fashion Vintage Di Bandung), Jurnal Ilmu Komunikasi dan Studi Media, Vol. 1, No. 2. Berdasarkan contoh kasus tersebut, silahkan Anda jelaskan: a. Bagaimana konsep diri individu yang menjadi peminat fashion vintage terbentuk, membuatnya memiliki rasa percaya diri? b. Bagaimana peminat fashion vintage memilih acuan perilaku dan tindakannya dalam memilih pakaian yang digunakannya sehari-hari?


Jawaban:

ANDA HARUS PD DULU BARU PERCYA DIRI

Penjelasan:


3. Hermeneutika hukum adalah upaya menggali dan merumuskan kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, atau patokan-patokan yang seharusnya digunakan sebagai acuan dalam memahami, menganalisis, menginterpretasikan, dan mengungkapkan kompleksitas maksud dan makna teks hukum serta penerapannya dalam proses pengadilan. Makna yang dimaksud bukan sekedar makna literer melainkan makna secara keseluruhan. Norma-norma, aturan-aturan, atau prinsip-prinsip tersebut terdiri dari prinsip-prinsip umum, sikap dan kehendak baik penafsir, tujuan interpretasi, kepentingan masyarakat, struktur sistem hukum, karakter dan peran penafsir, serta bagaimana memahami dan memperlakukan norma-norma hukum sebagai teks. Dari perspektif hermeneutik, putusan pengadilan merupakan suatu proses pembuktian kebenaran hukum dari berbagai ragam sudut pandangan: hukum, tradisi, masyarakat, tujuan sosial, kontekstual, dan sebagainya. Gregory Leyh mengatakan bahwa hermeneutika mengandung manfaat tertentu bagi yurisprudensi (ilmu hukum). Teori-teori hukum kontemporer pun semakin menegaskan supremasi hermeneutika dalam hukum. Namun hakim atau penegak hukum tidak sebebas-bebasnya dapat melakukan interpretasi hukum. Sebuah penelitian dilakukan Lief H. Carter (Jurnal Konstitusi, 2016) terhadap para hakim di AS mengungkapkan bahwa para hakim ternyata lebih banyak bersikap pragmatis daripada idealis berkaitan dengan interpretasi dan penerapan hukum. Situasi yang berlangsung di AS berlangsung juga di Indonesia. Penelitian soal ini perlu dilakukan sehingga hukum dan prinsip-prinsip hermeneutika hukum harus dipakai sebagai patokan dalam penerapan hukum baik di pengadilan maupun di luar pengadilan. Kasus yang digunakan sebagai contoh analisis dan interpretasi hukum di sini adalah Putusan Pengadilan Nomor : 380 / Pid.Sus / 2013 / PN.JKT.UT. Dalam putusan tersebut terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yaitu “secara tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika Golongan I bagi dirinya sendiri“, sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Karena perbuatannya, terdakwa dituntut pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan penjara dikurangi masa tahanan. Terhadap tuntutan pidana tersebut terdakwa mengajukan pembelaan secara lisan yang pada pokoknya mohon keringanan hukuman dan dapat direhabilitasi.HKUM4401 2 dari 4 Pertanyaan: Saudara mahasiswa, anda bebas menentukan asumsi-asumsi apa saja yang semestinya melekat, diberikan dan ada di dalam konteks contoh kasus peristiwa yang diberikan dalam Soal ini. Sehingga anda-pun dapat berinterpretasi secara relevan faktor-faktor apa saja yang semestinya masuk dalam analisis kasusnya tersebut. READY WA O896-55OO-5OOO.


yang butuh jawaban langsung aja hubungi wa 081380268042 dijamin amanah kak, kita bakal bantu harga sesanggupnya kakak aja..


4. Menentukan Paragraf Deduktif dan Induktif![ Makasih banget ya yg udah jawab hehe tapi jangan salah dan ngasal ]Cyberbullying adalah jenis bullying atau perundungan yang terjadi di media sosial, email, game, dan platform online lainnya. Tindakannya termasuk jenis intimidasi dan perilaku berulang yang bertujuan untuk menakut-nakuti, memprovokasi, atau mendiskreditkan target.Perlu orang tua waspadai, cyberbullying berdampak pada anak-anak hampir di seluruh dunia. Namun, sayangnya masih banyak orang tua yang belum menyadari bahwa tindakan penindasan ini benar-benar nyata dan berkembang, sehingga perlu ditangani. Itulah sebabnya orang tua perlu tahu apa penyebab anak melakukan cyberbullying.Penyebab Anak Melakukan CyberbullyingSering kali penyebab anak melakukan cyberbullying untuk melampiaskan kemarahan dan balas dendam. Contoh cyberbullying di antaranya:•Memposting kebohongan atau foto memalukan seseorang di media sosial.•Mengirim pesan atau ancaman berbahaya.•Meniru seseorang dan mengirim pesan atau memposting konten atas nama korban.Penindasan di dunia maya dan perundungan tatap muka biasanya terjadi pada saat bersamaan. Namun, cyberbullying meninggalkan sidik jari dan bukti (seperti teks atau pesan suara) yang bisa memberikan petunjuk untuk mengatasinya nanti.Orang tua perlu mengetahui, apa saja alasan dan penyebab anak melakukan cyberbullying, agar dapat mencegah tindakan ini pada anak. Berikut penyebab yang harus diamati:1. Perkembangan Teknologi yang PesatMelansir Jurnal Penegakan Hukum dan Keadilan dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, pesatnya perkembangan teknologi berkontribusi pada perilaku bullying di kalangan anak-anak dan remaja. Hadirnya internet membuat aktivitas dan pola bermain anak menjadi bergeser. Dulu anak-anak bermain di luar rumah, kini mereka bermain dan berinteraksi di dunia maya.Sama seperti interaksi dan pergaulan di dunia nyata, pertemanan di dunia maya pun rentan terjadi konflik yang tidak dapat dihindari. Sehingga konflik di dunia maya pun kerap terjadi hingga munculah tindakan cyberbullying. Selain itu, dengan melakukan cyberbullying pelaku tidak perlu takut mendapatkan balasan, apalagi secara fisik. Karena pelaku biasanya bersifat anonim atau tidak dikenal. Sementara itu dampaknya pada korban sama, tanpa harus menimbang kekuatan fisik.2. Ketidaktahuan Akan Risiko HukumKetidaktahuan akan risiko hukum menjadi salah satu alasan anak dan remaja melakukan cyberbullying. Mereka mungkin belum mengetahui bahwa dari perbuatan tersebut dapat dikenai sanksi pidana. Pelaku cyberbullying menganggap bahwa tindakannya tersebut hanya sebatas ekspresi diri, atau ada juga yang berdalih bahwa tindakan tersebut hanya sebuah candaan. Alasan ini diperkuat oleh sebuah kasus yang pernah terjadi di Yogyakarta. Lima dari enam pelaku kasus cyberbullying yang didampingi oleh Yayasan Lembaga Perlindungan Anak Yogyakarta, ternyata tidak memahami bahwa perbuatan mereka memiliki risiko hukum. Hal ini disebabkan karena undang-undang informasi dan transaksi elektronik itu baru dan belum banyak dipahami masyarakat.3. Anak yang Suka MeniruPerlu dipahami, bahwa usia anak-anak dan remaja merupakan masa dimana mereka memiliki kecenderungan labil, sedang mencari jati diri, dan suka mengeksplorasi banyak hal. Di tahap perkembangan anak ini, mereka cenderung melihat dan mempelajari berbagai hal di lingkungannya. Misalnya, saat anak menggunakan media sosial tanpa pendampingan orang tua, mereka bisa saja melihat banyak perilaku negatif yang dilakukan banyak orang di sana. Hal tersebut pada akhirnya ditiru oleh anak tanpa tahu dampak dan akibatnya pada dirinya sendiri dan orang lain. Ketika anak percaya bahwa banyak orang melakukan intimidasi secara online, mereka cenderung terlibat dalam perilaku itu sendiri. Mungkin dalam benaknya, hal itu seperti bukan masalah besar karena kelompok sebaya maupun orang dewasa juga menerima perilaku tersebut. ​


Jawaban:

perbedaan paragraf induksi dan deduktif terletak di kalimat utamanya. ide pokok paragraf berada diawal kalimat sedangkan induktif berada diakhiri kalimat yang menjadi kesimpulan


Video Terkait

Kategori ppkn